Rahman
Arge atau Abdul Rahman Gega, lahir tanggal 17 Juli 1935 di Makassar, Sulawesi
Selatan. Rahman Arge (RA) pernah mendeklarasikan prinsip hidupnya;
menggelinding tanpa banyak cincong. Prinsip hidup tersebut, RA, terus berada
dalam pusaran kreativitas. Hingga menjelang usianya yang kurang lebih tujuh
puluh, ia masih selalu berkata; Aktor jangan sampai kehilangan panggung. Oleh
sebab itu jangan berhenti berkarya.
Rahman
Arge mengaku bersekolah di SMA Wartawan “Amanna Gappa College” selama dua
tahun, kemudian studi di Akademi Seni Drama Indonesia (ASDI) sejak 1959 hingga
1961 di Makassar. Rahman Arge tidak pernah melawan orang
tua walau RA dilarang terjung ke dunia seni, terbukti setelah orang tua tau
kalau Rahman Arge sekolah wartawan. Orang tua RA tidak menyuruhnya berhenti
sekolah. Pekerjaan orang tua RA merupakan karyawan dalam perusahan
belanda. waktu itu kesnian Makassar
tidak seperti kesenian yang lahir di Jawa yang sangat pesat.
Karirnya
di kesenian berawal dari menekuni seni lukis, namun sejak 1955 RA kemudian
tertarik pada bidang sastra dan drama. Saat berusia dua puluh tahun itulah, RA
aktif menulis cerpen, naskah drama, puisi, dan essai.
Dalam berkesenian saya memkai filosofi paancasila, dalam proses berkesenian tidak ada kata
selesai, tapi apa yang dicapai sekarang ini belum sampai disini tapi perjalanan
kesenian RA masih mengalir sampai sekarang.
Aktivitasnya ditambah lagi dengan menjadi sutradara drama yang berkali-kali
menampilkan diri dan karyanya di Taman Ismail Marsuki.
Rahman Arge terdorong
untuk mengembangkan dunia kesenian yang
ada di Makassar. RA sadar kalau seni itu tidak ada puncaknya karena prosesnya
mengalir, terbukti RA mendirikan Front Sinema Makassar pada tahun 1957, dan
teater Makassar tahun 1969. Grup ini dimaksudkan sebagai liga bagi teaterawan
Sulawesi Selatan yang siap tampil diberbagai event baik nasional maupun
internasional. Haarapan tersebut terus terjaga hingga kini.
Karya-karya
tulis RA berupa esai, naskah drama, kritik film, cerpen, dan puisi, dimuat
diberbagai media majalah atau koran. Puisi-puisi yang pernah dimuat di Majalah
sastra Horizon, Jakarta, Budaya Jaya, Basis, Tempo dan Gatra. Yaang lainnya
dimuat di koran Kompas, Indonesia Raya, Harian Kami, Sinar Harapan, Suara
Karya, Berita Yudha, dan sampai sekarang masih eksis esainya dimuak di Koran
Fajar, salah satu karyanya yang berjudul “ Saya Dipaksa Masuk Rumah Sakit;
Sudah Matikah Saya....?” yang membuat orang-orang mengiranya sudah meninggal.
Cerpennya
yang terkenal adalah; Langkah-Langkah Dalam Gerimis. Pernah di film layar
lebarkan dengan judul Jangan Renggut Cintaku. Cerita ini
mengisahkan konflik antara tumasi dan pelarian dalam cerita seorang laki-laki
yang balas dendam yang membawa adenya (Silarian). Karya dramanya yang sering
dimainka adalah : Sang Mandor, Pembenci Matahari, dan Kenduri. Naskah dramanya
yang lain adalah I Tolok, Opa, Somba Opu, Mereka Mulai Menyerang, Sang
Direktur, dan lainnya. Selain menulis, RA kerap menterjemahkan karya sastra
dunia. Diantaranya karya-karya Gui de Maupasant, Maxim Gorky dan William Sarojan.
Sebagai teaterawan,
mendapat hadiah seni dari pemerintah Republik Indonesia tahun 1977. Di bidang
film RA meneriam penghargaan Piala Citra sebagai aktor pemeran pembantu terbaik,
dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1990. Sebelumnya pernah meraih medali
emas pemeeran pembantu terbaik pada FFI 1988. Prestasi itu ikut menunjang
penunjukannya sebagai Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) cabang
Sulawesi Selatan 1989-1993.
Penghargaan yang pernah
didapatkan Rahma Arge
-
Turut berbicara dalam ekspresi kesenian.
-
Mendapatkan anugrah dari mentri dan PWI
pusat “ Pers Penegak Pancasila” atas jasanya melawan pers PKI.
-
Menerima penghargaan kesetiaan selama 50
tahun mengabdi di dunia pers Indonesia
-
Piala Citra dan piala khusus atas
jasanya membina teater di Sulsel
-
Memperoleh satya lencana kebudayaan dari
presiden RI
-
Mendapatkan penghargaan dari Japan
Foundation
The Japan Fondation pernah mengundang RA,
mengunjungi negeri matahari terbit itu pada tahun 1981. Undangan tersebut
diperoleh RA, setelah ia menulis puluhan kritik tentang film Jepan pilihan.
Kunjungan luar negeri lainnya dalah ke Philipina dalam rangka mengikuti
Festifal Film se-ASEAN.
Sisi lain hidupnya
adalah sebagai insan pers. RA pernah menjadi ketua PWI Sulawesi Selatan selama
24 tahun (Tiga Priode) . Bersama teman-temannya ia dinilai gigih melawan pers
PKI dimasa Orde Lama. Perjuangan itulah yang mengakibatkan RA dianugrahi
penghargaan sebagai penegak Pers Pancasila oleh PWI Pusat.
Perjuangannya dibidang
kebudayaan adalah menandatangani Menifes kebudayaan di Jakarta pada tahun 1964.
Di Makassar bersama teman-temannya ikut mendirikan Dewan Kesenian Makassar dan
menjadi ketua selama priode 1970-1979. Di Badan Koordinasi Kesenian Nasional
Indonesia (BKKNI) cabang Sulawesi Selatan, RA menjadi ketua di tahun 1978-1992.
Dibidang politik, RA
melalui jalur partai Golkar menjadi anggota DPRD Sulawesi Selatan selama tiga
priode. Kemudian tahun 1992-1997 menjadi anggota DPR- MPR-RI.
Buku-bukunya yang
pernah terbit antara lain; Ulat Bosnia, Jalan Tiga Orang, Antologi Puisi Ombak
Makassar, Antologi Lima Drama pilihan.
RA sudah berada di puncak terutama di Makassar,
karena semua sudah dilaluinya. RA bangga berada di tengah-tengah para pelaku
seni. Pengaruh terhadap perkembangan teater RA merasa masih mengalir sampai
sekarang. Warnah kesukaan RA adalah Hitam. Karena hitam merupakan lambang
ketegasan. Warnah lain akan tertutup dengan warnah hitam. Hobi RA adalah menyanyi,
dan sempat memiliki Band yang disukai.
Menurut Rahman Arge
-
Keindahan adalah suatu expresi yang
manusia menggetarkan jiwa.
-
Kegelisahan adalah manusia diciptakan
dalam kegelisahan dan kedamaian dari kegelisahan faktor jiwa yang mendorong
manusia tidak puas dengan apa yang dimilikinya, dari situlah manusia akan
menciptakan karya.
-
Kemarahan adalah prilaku yang memacetkan
karya-karya keindahan.
-
Kesepian adalah koodrat manusia yang
melahirkan pemberontakan diri (identitas).
-
Kematian adalah pemahkotaan hidup ( mate
disantangi)
Menurut RA setiap karya pasti ada pesannya, mudah
tidaknya akan diterima tergantung pada kesamaan konsep antara pengaran dan
pembaca. RA percaya bahwa seni pertunjukan di indonesia akan tetap hidup, kalau
ada kemampuan mengkombinasikan antara pertunjukan tradisional dan modern. Suatu
konsep seni yang menatap dirinya sendiri. Di dalam berkesenian masalah anggaran
dapat ditaklukkan dengan manajeman yang bertolak dari pepatah bugis “ cedde e
mappagenne’ “ (yang sedikit mencukupkan).
Pandangan RA terhadap pemerintah belum cukup
berperan dalam dunia kesenian. Belum tertata sebuah konsep pembeinaan seni
pertunjukan ini. Masih jauh dari cukup. Dibutuhkan kerja sama pemerintah dan
lembaga seni masyarakat. Diperlukan kesungguhan anatara komponen-komponen
pendukung Seni pertunjukan pemerintah dan masyarakat seni dan penyandan dana.